Di Antara Jarak
Hari ini adalah hari
terberat bagi Dinda, ia dan keluarganya sudah beranjak dari stasiun Kereta Api
Bandung sejak satu jam yang lalu. Ia akan kembali ke Yogyakarta. Terasa begitu
berat meninggalkan kota itu dengan segala kenangannya. Decit suara kereta yang
bergesekan dengan rel terdengar begitu bising tapi ia tak memedulikan itu
sekarang. Dinda duduk bersebelahan dengan ibunya dan adik perempuannya di
pangkuan. Ia menggantikan ibunya untuk memangku Dita karena mengetahui ibunya
kelelahan. Ayah dan Zidan duduk di belakang mereka bertiga. Di balik punggung
adiknya Dinda menangis dalam diam.
“Nak, kamu ga makan?” tanya Ayahnya dari
kursi belakang.
“Enggak, Yah. Dinda ga lapar kok.” jawabnya
dengan suara serak.
“Sudah jangan sedih terus kakakmu kan
tiga tahun lagi juga kembali ke Indonesia.” Ayah Dinda menenangkannya. Dinda
hanya diam dan menahan air matanya agar tidak keluar lagi. Ia takut membuat
Ayahnya khawatir.
Waktu
sudah semakin sore, sayangnya senja tak nampak dari balik jendela kereta yang
di tumpanginya. Langit redup di iringi hujan yang turun sejak tadi. Sepertinya
langit paham akan suasana hatinya. Dinda teringat acara perpisahan kakaknya
yang di gelar bersama dengan ratusan teman yang tinggal menunggu
keberangkatannya esok hari. Lagu jepang yang dinyanyikan secara bersamaan
membuat terharu dan menangis bagi penontonnya. Lagu itu terus terngiang-ngiang
di benaknya. Ia tak mudah melepaskan sosok kakaknya. Taufan yang dingin tapi
perhatian. Meskpin sering bertengkar tapi mereka begitu dekat.
Dinda teringat waktu kecil dulu di mana ia sering bertengkar siapa yang akan pergi ke warung untuk belanja karena di suruh ibunya. Dan berakhir dengan pergi berdua dengan menaiki sepeda butut milik ayahnya. Taufan yang sering menjaganya ketika di perlakukan tidak baik oleh teman-temannya. Dinda tak menyangka sudah beranjak begitu dewasa sekarang. Dahulu masih sering tanding catur bersama dan sekarang harus terpisah jarak yang begitu jauh.
Dinda teringat waktu kecil dulu di mana ia sering bertengkar siapa yang akan pergi ke warung untuk belanja karena di suruh ibunya. Dan berakhir dengan pergi berdua dengan menaiki sepeda butut milik ayahnya. Taufan yang sering menjaganya ketika di perlakukan tidak baik oleh teman-temannya. Dinda tak menyangka sudah beranjak begitu dewasa sekarang. Dahulu masih sering tanding catur bersama dan sekarang harus terpisah jarak yang begitu jauh.
Dinda
tau tidak seharusnya ia begini. Ini adalah cita-cita kakaknya. Dinda bahagia
karena kakaknya bisa menggapai impiannya di Negeri Sakura itu tetapi ia juga
sedih karena harus berpisah karenanya. Dinda tau perjuangan kakaknya belajar
tanpa henti untuk mendapatkan hal tersebut. Bahkan ketika sekolah dahulu Taufan
tak pernah belajar. Kini ia berusaha
keras. Ia juga mengabaikan apa kata orang tentangnya. Dan kini ia berhasil mewujudkannya. Menjadi
kebanggaan tersendiri tentunya.
Meskipun Dinda tau kakaknya juga sedih harus berpisah dengan keluarganya untuk sementara waktu tetapi ini sudah menjadi tekadnya sejak dahulu. Dinda mengusap titik air mata yang luruh lagi. Mungkin orang di sekitarnya berfikir ia cewek aneh, menangis di dalam kereta. Ia tak memedulikan itu lagi. Hujan terlihat sudah berhenti, tinggal titik-titik embun yang tertinggal di jendela kereta api. Gawai di tasnya berdering membuyarkan lamunannya sejak tadi. Ia buru-buru mengambil gawainya. Ternyata itu dari Taufan, kakaknya. Dinda buru-buru mengangkat panggilan masuk tersebut.
Meskipun Dinda tau kakaknya juga sedih harus berpisah dengan keluarganya untuk sementara waktu tetapi ini sudah menjadi tekadnya sejak dahulu. Dinda mengusap titik air mata yang luruh lagi. Mungkin orang di sekitarnya berfikir ia cewek aneh, menangis di dalam kereta. Ia tak memedulikan itu lagi. Hujan terlihat sudah berhenti, tinggal titik-titik embun yang tertinggal di jendela kereta api. Gawai di tasnya berdering membuyarkan lamunannya sejak tadi. Ia buru-buru mengambil gawainya. Ternyata itu dari Taufan, kakaknya. Dinda buru-buru mengangkat panggilan masuk tersebut.
“Assalamualaikum kak.” sapa Dinda dari
gawainya.
“Waalaikumussalam dek. Kamu semangat
kuliah pokoknya. Kakak pulang besok kamu harus sudah lulus.” kata Taufan dari
seberang sana.
“Iya kak, semangat juga hati-hati di
sana.” jawab Dinda tersendat-sendat. Ia tak mampu mengucapkan kalimat lebih
banyak dari itu.
Setelah itu, panggilan di akhiri dan ada
pesan masuk. Ia buru-buru membuka pesan tersebut.
“Jangan jadi cewek cengeng. Kita harus
bisa banggain Ayah sama Ibu, Dek. Besok waktu pulang kakak bawain hadiah buat
kamu.” Itulah pesan dari Taufan. Taufan yang cuek dan dingin tapi perhatian.
#komunitasonedayonepost
#odopbatch6
#fiksi
#Tantangan1
tulisannya bagus mbak hehe
BalasHapusMakasih mbk ayy :)
Hapustulisanya nice
BalasHapusMakasih mbk amii๐
Hapusjadi inget jaman kuliah :')
BalasHapusTahun brapa mbk pathin๐
Hapus๐
BalasHapusHai mbak iv๐๐
Hapusaku tinggalkan jejakku di blog ini
BalasHapusMaturnuwun pak win..
HapusKakak yang dingin tapi perhatian ๐
BalasHapusBersyukur punya kakak mbk ๐
HapusSuka...
BalasHapusMakasihh mbak lisaa :)
HapusSyukak tulisannya
BalasHapusMakasih mbak yul :))
HapusKata Om Kasino, "Gile lu, Ndro!"
BalasHapusalias keren banget ... hehehe
Follback my blog:
https://dloverheruwidayanto.blogspoy.co.id
Hehe makasih pak, sudah di follback
HapusKata Om Indro "Kompor Gas!".
BalasHapus